Keadilan menurut
Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan
sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu
sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua
orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka
masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak
sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama,
sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.
Keadilan oleh Plato
diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang
mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates
memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan
tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan
tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah? sebab pemerintah
adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu
berpendapat bahwa keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai
ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya.
Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau
disepakati.
Semua Negara
menjunjung keadilan begitu juga Negara Indonesia bahkan salah satu poin yang
tercantum dalam dasar Negara yang disebut Pancasila menyatakan bahwa Keadilan
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, namun dalam realitas yang ada keadilan tersebut
belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Indonesia. Ini bisa kita lihat dari banyaknya
kasus yang menimpa rakyat kecil menjadikan Cermin Bagi kita, bahwa keadilan itu
bukan lagi untuk semua tingkatan masyarakat, akan tetapi keadilan kini hanya
merupakan fasilitas penyelamatan diri bagi orang-orang yang mempunyai Derajat
dan Harta yang melimpah. Apakah kita masih ingat dengan peristiwa pencurian
sandal jepit usang milik seorang anggota polisi, atau contoh yang dapat kita lihat
pada gambar. Seorang anak menteri di negeri ini menabrak mobil lain dan
menyebabkan jatuhnya korban jiwa 2 orang hanya divonis 8 bulan penjara + 12
bulan masa percobaan.
Seorang anak biasa, hacking situs pribadi SBY yang presiden sendiri tidak mengadukan perkara tersebut ke meja hijau, divonis 6 tahun penjara. Kasus remaja jember yang bernama lengkap Wildan Yani Ashari atau wildan yang meretas situs pribadi SBY ini luput dari perhatian kita semua. Wildan bahkan harus menghadapi persidangan tanpa didampingi kuasa hukum atau pengacara pada hari kamis 11 April 2013.
“Wildan menyatakan akan menghadapi sendiri sidang hari ini ,” ujar ayah Wildan dikutip dari tempo.co
Wildan, pemuda kelahiran Balung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, 18 Juni 1992, itu harus menghadapi beberapa tuntutan jaksa dengan beberapa pasal yang menjeratnya. Dalam surat perintah penahanan, Wildan dinyatakan melanggar Pasal 50 juncto Pasal 22 huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Wildan terancam hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Wildan juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kita sangat miris melihat hukum memperlakukan orang lemah bila dibanding dengan apa yang dilakukan para pejabat/wakil rakyat yang merugikan negara juga rakyat justru bebas dari hukum. Hukum hanya keras terhadap orang lemah, hukum lebih dekat dengan penguasa dan hakim pun bukan lagi penentu keadilan. Keadilan Telah Mati.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar